Pantai “Wediombo”, Memancing Ikan dari Bukit Karang

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Sebuah imajinasi tentang pasir putih maha luas yang memungkinkan mata untuk leluasa meneropong ke berbagai sudut mungkin akan muncul bila mendengar pantai bernama Wediombo (wedi=pasir, ombo=lebar). Namun, sebenarnya pantai Wediombo tak mempunyai hamparan pasir yang luas itu. Bagian barat dan timur pantai diapit oleh bukit karang, membuat hamparan pasir pantai ini tak seluas Parangtritis, Glagah, atau mungkin Kuta.

Penduduk setempat memang mengungkapkan bahwa nama pantai ini yang diberikan oleh nenek moyang tak sesuai dengan keadaannya. Ada yang mengungkapkan, pantai ini lebih pantas menyandang nama Teluk Ombo, sebab keadaan pantai memang menyerupai teluk yang lebar. Terdapat batu karang yang mengapit, air lautnya menjorok ke daratan, namun memiliki luas yang lebih lebar dibanding teluk biasa.

Tapi, di luar soal nama yang kurang tepat itu, Wediombo tetap menyuguhkan pemandangan pantai yang luar biasa. Air lautnya masih biru, tak seperti pantai wisata lainnya yang telah tercemar hingga airnya berwarna hijau. Pasir putihnya masih sangat terjaga, dihiasi cangkang-cangkang yang ditinggalkan kerangnya. Suasana pantai juga sangat tenang, jauh dari riuh wisatawan yang berjemur atau lalu lalang kendaraan. Tempat yang tepat untuk melepas jenuh.

Wediombo terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Pantai ini sangat mudah dijangkau bila sebelumnya telah datang ke Pantai Siung. Cukup kembali ke pertigaan di Tepus sebelum menuju ke Siung, kemudian belok kanan mengikuti alur jalan hingga menemukan papan petunjuk belok ke kanan untuk menuju Wediombo.

Letak pantai ini jauh lebih ke bawah dibanding daratan sekitarnya. Beberapa puluh anak tangga mesti dituruni dulu sebelum dapat menjangkau pantai dan menikmati keelokan panoramanya. Sambil turun, di kanan kiri dapat dilihat beberapa ladang penduduk setempat, rumah-rumah tinggal dan vegetasi mangrove yang masih tersisa. Lalu lalang penduduk yang membawa rerumputan atau merawat ternak di kandang juga bisa dijumpai.

Selain panorama pantai yang mengagumkan, Wediombo juga menawarkan pengalaman wisata unik, bahkan ekstrim, yaitu memancing di ketinggian bukit karang. Saat ini jenis wisata yang bermula dari kebiasaan memancing penduduk setempat ini tengah digemari oleh pehobi dari kota Yogyakarta dan Wonogiri.

Bukan hal mudah untuk memancing di bukit karang, sebab letaknya yang jauh dari pantai. Bukit karang itu baru bisa dijangkau setelah berjalan ke arah timur menyusuri bibir pantai, naik turun karang di tepian pantai yang terjal, licin dan kadang dihempas ombak besar, kemudian naik lagi hingga puncak bukit karang yang langsung berhadapan dengan laut lepas yang dalam. Bagi yang telah terbiasa saja, perjalanan menuju bukit karang bisa memakan waktu satu jam.

Namun, hasil yang luar biasa bisa dituai setelah mengalahkan segala rintangan itu. Penduduk setempat mengungkapkan, ikan-ikan berukuran besar sering didapat oleh para turis lokal. Minimal, pemancing akan mendapatkan ikan cucut, atau ikan panjo dalam istilah setempat. Ikan yang panjangnya setara dengan lengan manusia dewasa ini punya 2 jenis, yang berbentuk gilig (silinder) banyak ditemui pada musim kemarau, sementara yang gepeng (pipih) ditemui pada musim hujan.

Untuk memancing, modalnya hanya umpan berupa ikan teri yang bahkan bisa didapatkan di tepian pantai. Tinggal menggunakan pancing atau merentangkan jaring kecil, maka umpan bisa didapat. Murah dan mudah, bukan?

Paket masakan ikan panjo goreng juga tersedia. Nasi, seekor ikan panjo goreng yang telah diiris kecil beserta sambal mentah dijual sangat murah, hanya Rp 7.000,00. Nasinya dihidangkan dalam bakul kecil, sementara sambalnya dalam cobek. Porsinya cukup banyak, bahkan untuk 2 orang. Ada juga landak laut goreng yang rasanya mirip daging ayam.

Pada saat-saat tertentu, anda bisa melihat upacara Ngalangi yang digelar oleh penduduk setempat. Upacara ini digelar sekali setahun, mirip upacara labuhan besar, tujuannya adalah mengungkapkan syukur pada Tuhan atas anugerah yang diberikan dan memohon rejeki lebih untuk masa mendatang. Anugerah yang dimaksud terutama adalah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan, hingga bisa mencukupi kebutuhan.

Kecuali upacara Ngalangi, seluruh pesona pantai bisa dinikmati setiap harinya. Retribusi masuk pantai hanya Rp 5.000,00 untuk dua orang plus parkir kendaraan. Bila ingin bermalam atau menggelar sebuah acara yang dihadiri sekelompok kecil orang, terdapat sebuah gubug yang terletak tak jauh dari warung-warung yang berjejer di pantai. Sangat mengasyikkan dan mampu menebus rasa lelah ketika menuju ke pantai ini.

Bakmi “ShiBitsu”?, namanya unikkan?

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Jika anda adalah salah satu penggemar berat bakmi, ketika sedang berada di Yogyakarta cobalah untuk mampir mengunjungi warung makan bakmi Shibitsu yang terletak di Jalan Raya Bantul No.106. Tempat ini dapat ditempuh sekitar lima menit dari Malioboro, tepatnya 500 meter selatan Pojok Beteng Kulon. Jangan terkecoh oleh namanya yang agak berbau Jepang, bakmi ini dimiliki oleh orang Yogya asli dan sudah beroperasi sejak 25 tahun lalu.Warung makan ini adalah yang paling banyak dikunjungi dibandingkan warung-warung makan lain yang ada di sekitarnya.

Selain keramaiannya tersebut pada awalnya saya cukup bingung dengan apa yang akan saya temui di warung makan ini. Tempat ini terkenal dengan nama ‘bakmi bisu‘. Ada beberapa pikiran iseng saya berkenaan dengan istilah tersebut. Pertama, bakmi tersebut saking enaknya sehingga ketika mencobanya, kita akan membisu alias tidak bisa berkata-kata. Pikiran yang kedua, yang menjajakan bakmi ini alias si penjual adalah orang yang tuna wicara atau bisu. Saat memesan satu porsi bakmi goreng kepada seorang wanita paruh baya yang sedang meracik bumbu saya mengira tebakan iseng saya yang kedua sudah gugur, karena si ibu tersebut ternyata bisa bicara. Tapi kemudian pada akhirnya saya mengetahui satu dari dua tebakan saya ada yang benar, begini cerita lengkapnya.

Selain memesan bakmi goreng, saya juga memesan teh manis hangat sebagai pendamping makan. Saat menunggu pesanan tiba, perlahan saya mulai mengerti salah satu alasan kenapa tempat ini terkenal dengan nama bakmi bisu. Ternyata pelayan yang mendistribusikan pesanan ke para pelanggan adalah seorang wanita tuna wicara (bisu). Ada satu orang lagi yang membantu ibu peracik dan pemasak bakmi yang sepanjang pengamatan saya juga ‘membisu’ atau tidak bicara sepanjang melakukan pekerjaannya sebagai pengipas bara api di anglo.

Cukup lama pesanan saya tiba. Bisa dimaklumi karena warung ini hanya menggunakan sebuah anglo berbahan bakar arang untuk memasak semua pesanan pelanggannya. Sambil menunggu pesanan bakmi, suguhan yang datang terlebih dahulu adalah teh manis hangat. Cukup berbeda dari tempat lain yang menyajikan teh hanya dengan menggunakan gelas. Di sini juga diberi tambahan sebuah teko kecil untuk jog jika air teh yang ada di gelas sudah habis. Selain berbeda dalam penyajian, teh ini juga berbeda dalam hal rasa jika dibandingkan dengan teh di tempat lain. Sruputan pertama ketika mencecap teh ini meninggalkan sensasi tersendiri. Jika boleh meminjam tag line sebuah produk teh, ini adalah sensasi wasgitel (wangi, sepet, legi, dan kentel). Aroma yang keluar dari panasnya kopi menimbulkan wangi aroma teh yang khas. Warna teh yang coklat kehitaman menunjukkan kekentalan dan rasa sepet yang membekas di ujung lidah. Kemudian dilengkapi dengan manis yang elegan dari gula batu yang dicelupkan ke dalam teh. Sudah lama saya tidak merasakan teh yang seperti ini. Terakhir, saya mencicipi teh yang enak beberapa tahun yang lalu ketika melakukan penelitian sosial budaya di daerah Tegal Utara.

Setelah hampir 20 menit menunggu akhirnya pesanan bakmi goreng saya diantar oleh si wanita bisu. Tampilan bakmi goreng ini sekilas hampir sama dengan bakmi di tempat lain, hanya saja warnanya lebih terang sedikit mungkin karena tidak terlalu banyak menggunakan kecap. Bakmi ini terbuat dari dua jenis mi, yakni mi kuning dan bihun. Kemudian dilengkapi dengan potongan-potongan kecil daging ayam dan seledri. Suapan pertama ketika mencoba bakmi bisu ini membuat saya hampir kehilangan kata. Bumbu yang menyelimuti bakmi ini amat terasa tebal dan meresap ke dalam mi. Sekilas rasa mi ini seperti agak berlebihan bumbu, namun itu semua hilang ketika disusul oleh suapan-suapan selanjutnya.

Di meja penyajian juga disediakan cabe rawit yang sangat nikmat jika diceplus berbarengan dengan mi. Hal yang tidak terlupakan dari makan di bakmi bisu ini adalah ketika setelah selesai makan mi dilanjutkan dengan teh panas wasgitel. Dua hal ini-mi dan teh- seakan saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing untuk menjadikan pengalaman wisata kuliner yang sulit dilupakan bagi anda. Pada akhirnya, saya cukup senang karena dua tebakan saya di awal tulisan ada yang benar. Bakmi Shibitsu membuat saya kehilangan kata dan membisu untuk sesaat karena kelezatannya.

Nasi Goreng “Beringharjo”, kuliner Jawa-Cina

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Nasi Goreng Beringharjo, kini bisa dijumpai di Jalan Mataram, tepat di pertigaan ketiga sebelah kiri jalan yang menuju ke pasar bersejarah di Yogyakarta itu. Sebelum penghujung tahun 2004, tepatnya sebelum ada pembersihan pedagang kaki lima di wilayah tersebut, nasi goreng itu bisa ditemui di pertigaan menuju kawasan Shopping yang kini dirombak menjadi Taman Pintar, Taman Budaya Yogyakarta dan Pusat Penjualan Buku.

Nasi goreng ini adalah salah satu yang pantas dicicipi sebab kelezatannya telah diakui banyak orang dan dikenal sejak tahun 1960-an, saat sang penjual memulai bisnisnya. Tak perlu menunggu lama jika hendak mencicipinya, sebab penjual biasanya memasak nasi goreng langsung dalam jumlah besar sehingga bisa dihidangkan dalam waktu cepat. Anda bisa datang mulai pukul 18.00 WIB hingga sekitar pukul 23.00 WIB bila ingin mencicipinya, serta bisa memilih ingin duduk lesehan atau di kursi yang tersedia.

Menyantap nasi goreng ini, anda akan merasa seperti mendengarkan sepiring cerita tentang akulturasi Jawa Cina. Jenis masakan nasi goreng sendiri misalnya, sebenarnya berasal dari daratan Cina yang kemudian ‘bermigrasi’ ke Indonesia. Mulanya, nasi goreng muncul dari tradisi bangsa Cina yang tak ingin membuang nasi sisa , sehingga nasi tersebut diolah dengan bumbu-bumbu yang tersedia, seperti bawang merah, bawang putih dan kecap. Ketika bangsa Cina mulai berdatangan ke Indonesia, masakan itu pun mulai dikenal oleh warga negara Indonesia dan berangsur menjadi satu dengan masakan Indonesia sendiri.

Bukti akulturasinya adalah adanya berbagai variasi nasi goreng, mulai nasi goreng ayam, nasi goreng sea food, nasi goreng kambing, bahkan nasi goreng pete yang notabene bumbu khas Indonesia. Rasanya pun bermacam-macam, ada yang lebih menonjolkan citarasa bawang putih, ada pula yang menonjolkan citarasa bahan tambahannya, misalnya ayam. Nasi goreng Beringharjo memilih memasak nasi goreng ayam dan “B2”.

Bicara tentang kecap sebagai salah satu bumbunya, itu pun menyimpan cerita tentang penyesuaian bangsa Cina ketika tinggal di Jawa. Kecap, sebenarnya bernama kie tjap, dibuat dari sari ikan yang difermentasikan. Ketika bangsa Cina tinggal di Jawa dan menemukan bahwa kedelai lebih murah dibandingkan ikan, bahan baku pembuatan kie tjap pun diubah menjadi dari kedelai. Akibatnya, kie tjap pun tidak lagi memiliki citarasa ikan, tetapi hanya berasa manis untuk kecap manis, begitu pula nasi goreng. Citarasa bawang putih yang sangat kuat pun juga menjadi ciri masakan-masakan yang berasal dari Cina.

Meski akibat akulturasi itu terdapat banyak sekali nasi goreng di hampir setiap sudut gang, Nasi Goreng Beringharjo tetap memiliki kekhasan. Proses memasak misalnya, tak seperti nasi goreng lain yang memasak dalam jumlah kecil. Sekali masak, penjual bisa menuangkan nasi sebanyak setengah bakul di wajan super besar yang telah diisi oleh bumbu khusus. Disebut bumbu khusus karena ia tak lagi meracik di tempat penjualan, tetapi sudah dalam bentuk campuran yang siap untuk melezatkan nasi goreng.

Daging ayam atau “B2” ditambahkan pada saat nasi goreng telah ditaruh dalam piring. Selain itu, ditambahkan pula beberapa iris tomat, kol, daun seledri, telur dadar bulat dan acar sebagai pelengkap. Sepiring nasi goreng berharga Rp 5.000,00 untuk ayam dan Rp 6.000,00 untuk “B2”. Karena lezat, banyak pengunjung memesan nasi dalam porsi yang lebih besar, mulai dari 1,5 hingga 2 porsi langsung untuk satu orang.

Pecel “Baywatch” buatan Mbah Warno

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Semula saya sempat bingung dengan julukan Pecel Baywatch yang disandang oleh pecel Mbah Warno. Terlintaslah imajinasi nakal tentang sosok penjual pecel yang mengenakan bikini seperti Pamela Anderson atau setidaknya warung ini berada di pinggir pantai. Ternyata salah semua. Beginilah cerita lengkapnya.

Warung Mbah Warno terletak di daerah Kasongan, tepatnya berada di jalan menuju Gunung Sempu. Warung yang sudah berdiri sejak 35 tahun lalu ini sangat sederhana. Papan nama warung pecel Mbah Warno ini hanya berukuran 30 x 20 cm2 yang pasti terlewat jika tak benar-benar memerhatikannya. Interior warung diisi oleh perabot yang fungsional dan apa adanya. Hanya terdapat beberapa meja dan kursi kayu serta satu dipan bambu. Di belakang meja tempat meletakkan dagangannya, terdapat dapur berisikan beberapa anglo yang selalu mengepulkan asap. Sebuah posisi yang tak disengaja sebenarnya, sebab dapur dalam konsep Jawa biasanya terletak di bagian belakang. Mbah Warno meletakkan dapur di bagian depan warung pasca gempa Mei 2006 yang meruntuhkan bangunan rumahnya.

Mbah Warno menjajakan menu utama pecel dengan beragam lauk sebagai pengiringnya. Mulai dari lele dan belut goreng kering, tahu bacem, mangut belut (belut bersantan yang dibumbui cabai), hingga bakmi goreng.

Terdapat empat jenis sayuran dalam hidangan berlumur bumbu kacang ini yakni daun bayam, daun pepaya, kembang turi (Sesbania grandiflora), dan kecambah / taoge. Kita akan disergap rasa manis dari bumbu kacang yang menggelitik lidah. Saat menguyah kembang turi yang agak getir, rasa manis tadi berpadu sehingga menghasilkan kelezatan yang sulit diungkapkan.

Pecel dengan kembang turi merupakan ciri khas pecel “ndeso“. Jaman sekarang sudah sulit untuk menemukan penjual pecel seperti ini. Konon kembang turi memiliki khasiat meringankan panas dalam dan sakit kepala ringan. Jadi tidak heran bila orang Jawa, India, dan Suriname (masih keturunan Jawa juga sih, hehehe) sering menyantap kembang turi muda sebagai sayuran.

Pecel akan bertambah nikmat jika ditambah dengan lele goreng atau tahu bacem. Lele goreng di tempat ini dimasak hingga kering sehingga crispy ketika digigit. Sedangkan tahu bacem yang berukuran cukup besar dapat dinikmati sebagai cemilan bersama cabai rawit. Selain itu juga terdapat hidangan lain seperti belut goreng dengan dua variasinya. Pertama, belut goreng kering yang berukuran kecil dan belut goreng basah yang lebih besar. Ada juga bakmi goreng dan mangut belut bagi anda yang menggemari makanan pedas. Asap dari anglo menambah sensasi rasa dari hidangan di warung ini.

Kenapa pecel di tempat ini dijuluki Pecel Baywatch? Hal itu karena Mbah Warno dan asistennya selalu mengenakan sejenis baju yang disebut kaus kutang. Pakaian yang sangat nyaman untuk dikenakan di tengah udara pedesaan Kasongan Bantul yang kering dan panas.

Walau penjual pecel ada dimana-mana, Pecel Baywatch tetap menawarkan sesuatu yang lain bagi anda. Sebuah kombinasi kelezatan makanan, suasana pedesaan yang kental, dan keramahan Mbah Warno “Anderson”.

Lumpia, ‘Sosis’ Aneka Isi

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Lumpia boleh jadi tersebar luas di Pulau Jawa, namun kelezatan lumpia tiada dua tentu tak bisa dinikmati di sembarang tempat. Yogyakarta menjadi tempat yang paling tepat untuk berburu dan mencicipi kelezatan beragam jenis lumpia. Di kota inilah, lumpia tumbuh mulai dari jajanan yang dijual menggunakan bakul ke pasar-pasar pada tahun 1940-an hingga makanan prestisious yang menembus swalayan modern.

Sejarah penamaan lumpia memang hingga kini belum jelas, namun kelezatan rasanya telah diakui oleh banyak orang. Lumpia terdiri dari kulit yang berbahan campuran terigu dan telur yang didadar. Kulit tersebut kemudian dipakai untuk membungkus isi yang biasanya bervariasi antara satu produsen dengan produsen lain. Isi yang telah dibungkus dengan adonan kulit kemudian digoreng dalam wajan dengan api sedang untuk menghasilkan pemasakan yang sempurna.

Ada dua jenis lumpia yang bisa dicicipi di Yogyakarta, yaitu lumpia dengan kulit garing serta lumpia dengan kulit basah. Lumpia yang kulitnya garing akan menyapa lidah dengan sensasi kerenyahan, sementara lumpia berkulit basah akan terasa lembut dan gurih di lidah. Tak ada salah satu yang lebih nikmat karena keduanya memiliki kekhasan tersendiri yang dihasilkan dari komposisi bahan baku dan proses pemasakan yang berbeda, semua mesti dicoba.

Citarasa kulit yang gurih akan berpadu dengan paduan rasa asin, manis dan asam adonan isi. Bercampur sempurna di lidah dan menghasilkan sensasi rasa nikmat yang akan menyapa sejak gigitan pertama. Lumpia yang asli berisi irisan rebung yang dimasak dengan bumbu khusus dengan rasa yang cenderung manis. Beberapa produsen menambah bahan lain untuk isi, misalnya berupa wortel, agar semakin kaya citarasanya.

Ada pula lumpia berisi ayam yang dimasak dengan bumbu khusus, terdiri dari campuran bawang merah, bawang putih, gula merah, dan bumbu lainnya. Ayam berbumbu direbus hingga lunak dan ditumbuk halus, membentuk adonan seperti bubuk yang berwarna coklat.

Isi yang kaya citarasa dan kulit lumpia yang gurih biasanya dinikmati bersama dua macam saus, yaitu saus bawang dan saus semarangan. Saus bawang dibuat dari bawang putih yang dihaluskan dan dimasak bersama air hingga kental, sementara saus semarangan dibuat dari bermacam bumbu jawa, berwarna coklat dan lebih kental. Sebagai penyegar, dua macam saus itu dilengkapi dengan acar, terbuat dari mentimun yang diberi cuka.

Lumpia beserta piranti penyedapnya biasanya dihidangkan pada cawan. Cara makanannya, saus bawang putih diambil menggunakan garpu dan ditusuk-tusukkan pada lumpia sehingga menyatu bersama isi. Sementara, saus semarangan dituangkan di permukaan kulit lumpia, begitu pula dengan acar mentimun yang dilengkapi cabe rawit. Setelah itu, lumpia diiris menggunakan pisau, dan akhirnya lumpia pun siap dinikmati.

Sejumlah tempat yang tepat untuk menikmati kelezatan lumpia khas Yogyakarta antara lain Pasar Beringharjo, depan Toko Samijaya di Jalan Malioboro dan Trubus Restaurant & Bakery di dekat Pasar Kranggan. Pasar Beringharjo menyediakan beragam macam isi, sementara kios lumpia depan Toko Samijaya menyuguhkan lumpia berisi rebung. Trubus Restaurant & Bakery yang kelezatannya mengalahkan lumpia Semarang menyediakan lumpia dengan isi campuran sayuran dan rebung yang disajikan dalam keadaan masih hangat.

Satu lumpia dijual dengan harga bervariasi. Lumpia di Pasar Beringharjo dijual dengan harga sekitar Rp 1.500,00 hingga Rp 2.000,00. Lumpia di kios di depan Samijaya dijual dengan harga rata-rata Rp 4.000,00, sedangkan di Trubus Restaurant & Bakery dijual dengan harga Rp 3.000,00 untuk yang biasa dan Rp 4.500,00 untuk yang istimewa. Semuanya bisa dimakan di tempat atau dibawa pulang.

“Kupatan Jalasutra”, salah satu upacara adat

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Kupat atau ketupat berukuran besar dibungkus daun gebang dan hidangan gudeg manggar ciri khas Upacara adat tradisional Kupatan Jalasutra (Jolosutro). Tradisi ini secara turun-temurun dilestarikan oleh warga Desa Srimulyo, Piyungan, Bantul.

Upacara Kupatan Jalasutro ini digelar untuk mengenang Sunan Geseng. Menurut legenda masyarakat setempat, Cokrojoyo atau Sunan Gesang mengikuti sayembara untuk menangkap ikan bersisik emas. Dia mengajukan syarat agar disediakan benang sutra untuk membuat jala. Akhirnya ikan tersebut bisa ditangkap dan dusun dimana jala itu dibuat selanjutnya dinamakan Jalasutra.

Hari Senin, (27/8/2007) yang lalu warga desa Srimulyo menggelar upacara adat ini. Ratusan warga memadati lapangan Jalasutra. Beberapa jodhang atau usungan yang berisi makanan dan hasil bumi dari dusun sekitar berkumpul di lapangan itu. Selanjutnya dilakukan pemotongan ketupat berukuran besar oleh Kepala Desa dan pejabat setempat.

Kemudian jodhang diarak menuju ke Makam Sunan Geseng. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan berbagai kesenian tradisional. Sesampainya di pelataran makam, sesepuh desa membacakan doa bagi Sunan Geseng dan memohon kepada Tuhan YME agar warga setempat diberi keselamatan dan limpahan rejeki. Dilanjutkan dengan kenduri, makan bersama. Sebagai acara penutup, isi jodhang dirayah (diperebutkan) masyarakat yang menghadiri upacara ini.

Pantai Cinta “Parangkusuma”

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Nuansa sakral akan segera terasa sesaat setelah memasuki kompleks Pantai Parangkusumo, pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta dan diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke istana laut selatan. Wangi kembang setaman akan segera tercium ketika melewati deretan penjual bunga yang dengan mudah dijumpai, berpadu dengan wangi kemenyan yang dibakar sebagai salah satu bahan sesajen. Sebuah nuansa yang jarang ditemui di pantai lain.

Kesakralan semakin terasa ketika anda melihat taburan kembang setaman dan serangkaian sesajen di Batu Cinta yang terletak di dalam Puri Cepuri, tempat Panembahan senopati bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Senopati kala itu duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara sementara Ratu Kidul menghampiri dan duduk di batu yang lebih kecil di sebelah selatan.

Pertemuan Senopati dengan Ratu Kidul itu mempunyai rangkaian cerita yang unik dan berpengaruh terhadap hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kraton Bale Sokodhomas yang dikuasai Ratu Kidul. Semuanya bermula ketika Senopati melakukan tapa ngeli untuk menyempurnakan kesaktian. Sampai di saat tertentu pertapaan, tiba-tiba di pantai terjadi badai, pohon-pohon di tepian tercabut akarnya, air laut mendidih dan ikan-ikan terlempar ke daratan.

Kejadian itu membuat Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Senopati mengungkapkan keinginannya agar dapat memerintah Mataram dan memohon bantuan Ratu Kidul. Sang Ratu akhirnya menyanggupi permintaan itu dengan syarat Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Ratu Kidul. Senopati akhirnya setuju dengan syarat perkawinan itu tidak menghasilkan anak.

Perjanjian itu membuat Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan Mataram memiliki hubungan erat dengan istana laut selatan. Buktinya adalah dilaksanakannya upacara labuhan alit setiap tahun sebagai bentuk persembahan. Salah satu bagian dari prosesi labuhan, yaitu penguburan potongan kuku dan rambut serta pakaian Sultan berlangsung dalam areal Puri Cepuri.

Tapa Senopati yang membuahkan hasil juga membuat banyak orang percaya bahwa segala jenis permintaan akan terkabul bila mau memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta. Tak heran, ratusan orang tak terbatas kelas dan agama kerap mendatangi kompleks ini pada hari-hari yang dianggap sakral. Ziarah ke Batu Cinta diyakini juga dapat membantu melepaskan beban berat yang ada pada diri seseorang dan menumbuhkan kembali semangat hidup.

Selain melawati Batu Cinta dan melihat prosesi labuhan, anda juga bisa berkeliling pantai dengan naik kereta kuda. Anda akan diantar menuju setiap sudut Parangkusumo, dari sisi timur ke barat. Sambil naik kereta kuda, anda dapat menikmati pemandangan hempasan ombak besar dan desau angin yang semilir. Ongkos sewa kereta kuda dan kusir sendiri tak terlampau mahal, hanya Rp 20.000,00 untuk sekali keliling.

Bila lelah, Parangkusumo memiliki sejumlah warung yang menjajakan makanan. Banyaknya jumlah peziarah membuat wilayah pantai ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan hingga malam hari. Cukup banyak pula para peziarah yang menginap di pantai ini untuk memanjatkan doa. Bagi anda yang ingin merasakan pengalaman spiritual di Parangkusumo bisa bergabung dengan para peziarah itu untuk bersama berdoa.

“Cublak-cublak Suweng”, mudah, murah dan meriah

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Kalau orang Amerika punya truth or dare, orang Jawa punya cublak-cublak suweng. Sama-sama sebuah permainan yang mengharuskan pesertanya melakukan hal lain jika tak mampu melakukan satu hal yang diharuskan, namun cublak-cublak suweng melibatkan lebih banyak pemain sehingga tak heran bila permainannya lebih seru. Ejekan ringan dan derai tawa pun mengalir, membuat suasana menjadi ramai.

Bagaimana cara mainnya? Saya akan menguraikannya untuk anda yang sudah lupa atau ingin belajar memainkannya. Pertama, kumpulkan dulu rekan-rekan anda sebanyak-banyaknya. Agar permainan lebih seru, minimal perlu ada lima orang. Kemudian, siapkan benda tertentu, biasanya berupa kerikil, sebagai benda yang nanti akan disembunyikan oleh anda atau salah satu rekan anda yang ikut bermain.

Nah, sesudahnya, hom pim pa dan ping sut dahulu untuk menentukan siapa yang akan menjadi orang yang harus menebak pemegang kerikil. Orang yang harus menebak adalah orang yang kalah dalam ping sut dan ia harus duduk menungging dengan kepala mencium lantai dan mata ditutup. Sementara, peserta lain menengadahkan telapak tangan di punggung orang yang harus menebak. Satu peserta kemudian bertugas memegang kerikil atau benda lain yang akan disembunyikan.

Permainan kemudian dimulai dengan menyentuhkan kerikil ke setiap telapak tangan peserta lain. Sepanjang permainan, peserta mendendangkan lagu cublak-cublak suweng. Syairnya, “cublak-cublak suweng, suwenge teng-gelenter, mambu ketundung gudel, pa empo lera lere, sopo ngguyu ndeliake“. Setelah sampai pada kata ndelikake, kerikil harus digenggam oleh peserta yang tangannya terakhir kali disentuh.

Setelah kerikil digenggam, orang yang harus menebak bangun dan duduk bersimpuh. Sementara peserta lain menyanyikan lagu, “sir, sir pong ndelik gopong” sebanyak mungkin hingga orang yang harus menebak menentukan siapa yang menyembunyikan kerikil. Sambil menyanyi, telunjuk tangan digoyangkan dan diarahkan ke orang yang harus menebak. Dia hanya diberikan kesempatan satu kali. Bila tak berhasil, dia akan menjadi orang yang harus menebak pada permainan berikutnya.

Kalau anda menjadi orang yang harus menebak, anda mesti hati-hati agar tidak gagal menebak untuk yang kedua kalinya. Kalau sampai gagal, bisa-bisa anda diminta mengelilingi lapangan atau bangsal tempat bermain dengan lari jongkok. Atau, kadang diminta memenuhi permintaan yang aneh-aneh dari peserta lain. Tak enak bukan? Maka, anda mesti mempunyai trik agar dapat menebak dengan benar.

Cara-cara fair bisa diandalkan untuk modal menebak bila anda peka. Misalnya, dengan membaca bahasa tubuh peserta yang ikut bermain. Wajah peserta yang menyembunyikan kerikil mungkin akan terlihat berbeda. Bisa pula dengan melihat tangan setiap peserta, siapa tahu akan tertebak penyembunyi kerikilnya. Selain itu, anda juga bisa menghapalkan letak duduk peserta sebelum menutup mata dan kemudian merasakan perputaran kerikil yang disentuhkan pada setiap telapak tangan peserta.

Jika mau agak curang, ada juga tipsnya. Anda bisa sedikit memiringkan kepala ke arah kiri atau kanan. Kemudian, bukalah sedikit mata anda sehingga tampak seperti mata ayam yang sedang tidur, pasti dapat melihat peserta yang menyembunyikan kerikilnya. Tapi jangan sampai ketahuan oleh peserta lain. Kalau ketahuan, bisa-bisa anda mendapat tambahan hukuman yang semakin menyusahkan.

Ah, menang atau kalah dan cara apapun yang digunakan untuk menang dalam permainan ini sebenarnya tak begitu penting. Yang penting kegembiraan di waktu senggang selagi pulang berwisata dari beberapa objek di Yogyakarta. Bukankah kegembiraan seperti ketika bermain cublak-cublak suweng sudah jarang didapatkan saat ini?

“Ingkling”, lempar gacuknya, dan dapatkan sawahnya

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Lempar gacuk-nya dan lompat-lompat dengan satu kaki. Kelilingi setiap kotak dan miliki sawah sebanyak-banyaknya, agar lawan semakin tak kuasa melompatkan kakinya. Permainan apa itu? Ah, mungkin anda sudah lupa karena sudah berpuluh tahun tak memainkannya. Atau, mungkin anda tak mengenalnya sama sekali sebab tinggal di luar Indonesia hingga lebih biasa memainkan basket, skateboard, atau mungkin playstation. Permainan itu bernama ingkling, yang kira-kira berarti berjalan atau melompat dengan satu kaki. Seperti namanya, inti permainannya adalah melompat dengan satu kaki. Yang harus dilompati adalah kotak-kotak yang digambar di atas tanah atau lantai semen. Sebagai alatnya, digunakan gacuk, benda pipih yang dilemparkan ke setiap kotak dan harus dilompati pada saat bermain, bahannya bisa berupa kereweng (pecahan genteng) ataupun pecahan tegel.

Gacuk mesti dilempar ke semua kotak yang dibuat, mulai dari kotak pertama hingga kotak pertama lagi. Kotak yang berisi gacuk tak boleh diinjak, alias mesti dilompati. Gacuk lawan juga tak boleh terinjak, kalau terinjak akan terkena aturan midak gacuk (menginjak gacuk) sehingga giliran pun berpindah ke peserta lain. Gacuk juga tidak boleh terlempar ke kotak yang salah atau jatuh pada garis antar kotak. Jika terjadi, giliran juga akan berpindah ke peserta lain.

Setiap peserta berlomba untuk menjadi orang pertama yang berhasil melemparkan gacuk ke semua kotak. Siapa yang lebih dulu, dialah yang berhak membuat sawah pada kotak tertentu. Namun, sebelum membuat sawah, peserta mesti ingkling mengelilingi kotak dengan gacuk yang ditaruh di telapak tangan atas, kemudian melemparkan gacuk ke ke kotak tertentu dengan membelakangi arena permainan. Kotak tempat jatuhnya gacuk itulah yang berhak dibuat sawah.

Serunya anak-anak bermain ingkling hingga kini masih bisa ditemui di beberapa kampung di Yogyakarta sekitar pukul 15.00 hingga sebelum Maghrib. Permainan ini kadang juga dimainkan oleh anak-anak saat istirahat sekolah. Nah, anda yang pernah bermain mungkin sekarang ingat pengalaman saat keringat bercucuran setelah bermain ingkling lalu membeli es limun di depan pagar sekolah dan akhirnya masuk kelas dengan baju lusuh dan bau.

Sebenarnya, permainan yang juga sering disebut engklek atau engkling ini cukup beragam. Ada ingkling pesawat yang susunan kotaknya berbentuk serupa pesawat, kemudian ingkling gunung dan ingkling kitiran (kincir angin) yang bentuknya serupa gunung dan kitiran. Satu lagi adalah ingkling saruk yang dimainkan dengan susunan kotak ingkling pesawat namun gacuk-nya di-saruk (ditendang menggunakan ujung kaki).

Ingkling biasanya dimainkan oleh 2 anak atau lebih. Bila jumlah pemain lebih dari 2 orang, permainan dimulai dengan hom pim pa untuk menentukan peserta yang lebih dulu bermain. Jika peserta hanya 2 orang atau hanya tinggal 2 orang yang beradu menentukan giliran main, maka dilakukan ping sut. Biasanya, setiap anak berebut hingga kadang bermain curang dengan membalikkan lagi telapak tangan atau mengganti jari yang diadu.

Ada juga yang curang saat permainan berlangsung. Misalnya, ada peserta yang menarik kembali kakinya saat menginjak garis agar giliran main tak berpindah ke orang lain. Saat bermain ingkling saruk, ada peserta yang menarik kembali gacuk yang melebihi garis batas, juga agar giliran tak berpindah. Sewaktu ada peserta yang bermain curang inilah biasanya peserta lain akan berteriak, “Weeee, urik hayo!” (= Wek, curang) sambil tertawa-tawa mengejek.

Bagian permainan yang seru adalah ketika ada seorang peserta yang dominan karena memiliki banyak sawah dan terletak di kotak yang berurutan. Derai tawa biasanya mengalir, sebab banyak peserta yang terjatuh karena tak berhasil melompati sawah lawan. Setelah itu, banyak wajah cemberut yang akan terlihat dari beberapa peserta, kecuali wajah pemain dominan yang biasanya tampak nyengir dengan bangga.

Lewat ingkling, anak-anak juga belajar mencintai sesuatu yang berharga. Kadang, ada anak yang menyimpan gacuk yang dianggap selalu dapat memberi kemenangan bagai sebuah jimat. Tapi, di sini pula keisengan anak juga mulai muncul. Secara sengaja, ada anak yang berusaha membuang gacuk lawan mainnya. Dari peristiwa itu, pertengkaran kecil muncul diantara anak-anak, yang ujungnya kadang berupa tangisan.

Nah, seru dan haru, kan? Anda yang ingin menyaksikan permainan ini bisa menuju beberapa perkampungan di Yogyakarta. Salah satunya perkampungan di daerah Sewon, Bantul. Ingin memainkannya di waktu senggang saat selesai berwisata? Coba saja. Pasti seru dan mampu membuka kembali ingatan masa kecil yang indah. Anda juga bisa membuat petak sawah di atas pesawat, tentu yang dimaksud adalah petak-petak ingkling yang berbentuk serupa pesawat.

Sekilas tentang “Sekaten”

•Agustus 25, 2008 • Tinggalkan sebuah Komentar

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.
Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:

1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.
2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.

3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja.